Senin, 23 April 2012


Kemelut hati

Aku membuka kedua mataku
Berharap itu hanyalah mimpi
Dengan kesenduan hati
kulukis senja dengan air mataku
Bercampur dengan indahnya langit biru

Namun, semua sia-sia
Kemelut hati bercampur dengan  pilu

Sempat ku ingin menghapus semua memori ini
Memori yang mengikis hati nurani
Membakar emosi dan menghancurkan jati diri

Tuhan, sakit ini begitu menyiksa
Hingga aku semakin lumpuh
Hatiku pun semakin tertutup.

Rabu, 11 April 2012

puisi


LUKA
Ombak di laut
Bersuara keras
Mengikis bebatuan
Seperti itulah cinta
Mengikis hatiku
Menumbuhkan luka
                        Ku sampaikan lukaku kepada langit
                        Langitpun menjadi kelabu
                        Ku sampaikan lukaku kepada matahari
                        Matahari tak lagi memancarkan sinar
                        Ku sampaikan lukaku kepada burung
                        Burung tak lagi menyanyi
Malaikat cinta sinis menyapa
Kutatap dengan deraian air mata darah
Betapa kejamnya cinta…..
Betapa perihnya cinta…..
Membunuh jiwa dan raga

cerpen :Pengemis Cerdik



Selamat pagi, itulah sapaan pagi yang selalu kuterima dari teman-teman kost suka family 10 full of love. Sifat Kekeluargaan dapat kurasakan begitu kental dan tetap terjaga. Kebersamaan disaat-saat suka maupun duka membuat aku semakin betah dengan mereka. Meskipun terkadang norak tapi membawa senyuman dan terpatri dihati.  Pagi ini kami berencana menjenguk salah satu teman kost kami yang sedang dirawat dirumah sakit karena mengidap penyakit tifus yang sudah cukup parah.
Kami berangkat bersama menaiki angkutan bus mini khas medan yang cukup panas dan sumpek jika dipadati nafas-nafas kehidupan yang ingin menaikinya. Tiba-tiba angkot yang kami tumpangi berhenti karena rambu lalu lintas berubah warna menjadi cabe merah, dan tiba saatnya menunggu sicabe merah berubah warna menjadi daun selidri.
Disaat hati sedang galau seperti ini, datanglah sesosok anak kecil nan polos dengan mengenakan kaos, celana pendek plus menenteng sebuah alat musik yang sednag digandrungi kaula muda, gitar. Dengan mengucapkan salam, dia langsung memainkan musiknya sambil menyanyikan lagu. Dari parasnya dapat terlihat jelas dia masih anak menengah pertama. Namun, kegigihannya dalam mencari nafkah sangatlah tidak terduga. Masih kuingat aku waktu itu, dimasa SMP dulu aku hanya bermain bersama temanku tanpa memikirkan makanan apa yang akan kumakan esok harinya. sicabe merah pun memberikan kesempatan kepada daun selidri agar memperlancar lalu lintas. Sang penghibur itupun selesai, dengan wajah memelas dia memohon belaskasihan penumpang. Tangannku pun tak kuasa menahan jemariiku melangkah menjatuhkan koin ke mangkuknya. Senyum gembira terpancar darinya, dapat kurasakan betapa sungguh bahagianya dia mendapat hasil yang cukup dari penumpangi dihari ini.
Angkot pun berlaju, dan melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, terdapat sekitar 12 lampu lalu lintas yang kami lewati. Dan yang paling anehnya, tiap ada lampu merah, selalu ada hal yang serupa dengan kejadian tadi seperti pada saat dilampu merah pertama. Aku pun mulai kelabakan, setiap lampu merah kalau gak pengamen pasti pengemis yang datang mendekati angkot berharap ada yang membagikan sedikit rejeki bagi mereka. Kek gini terus tumpur juga aku, tapi masih tetap saja tanganku tak kuasa menahan untuk tidak memberi (ciee cieeee, sok baeq... preeeeeeeettttttt). Teman-temanku hanya senyum padaku.
 “baek kalilah kakakku ini, setiap ada pengamen selalu dikasihnya”
“hahahhaa, gak salah kita bagi sikit rejeki kita”
“tapi kita kan masih didanai kak, ongkos besok pun aku masih mikir dari mana”
“beuughhh, nipu kau...., pindah agama kalau percaya ma kau”
“janganlah kak, jangan ampe gak jadi. Wkwkwkkw”
Semuanya jadi  tertawa, emanglah lawanku cakap ini salah satu cewek yang suka ngeles. Dikit-dikit bikin ketawa, tapi terkadang ngejengkelin. Yah walaupun begitu kami tetap terima semuanya (hahahahaha, inilah keluarga kost 10 terima apa adanya bukan ada apanya).
Udah mulai ngawur nie ceritanya, hmmmmm, lanjut lagilah ke topik awal.
Tibalah kami ke lampu merah terakhir, kami pun turun dari angkot dan memberi ongkos sesuai dengan jumlah kami. Nah, pada saa kami turun tiba-tiba ada sesuatu yang menarik tas Jeje, dengan sigap Jeje berbalik dan melihat sesosok lelaki tua yang duduk memakai sarung sembari mengangkat mankuk kearah kami. Dengan nada sinis Jeje langsung menjawab “maaf ea pak”
“lhaaa, koq gak dikasih Je? Kan kasihan, kakinya puntung lagi” ujarku dengan nada kasihan
“oala kak, gak usah. Nipu itu semua. Yoklah kita nyebrang lagi lampu merah.”
Kami pun mengikuti Jeje menyebrang dan menunggu angkutan umum lagi menuju rumah sakit. Sekitar lima menit kemuudian, angkot yang kami tunggu belum juga datang. Inilah memang kalau  lokasinya agak sudut dikota medan ini, pasti angkotnya sekali setahun lewat (hehehehe, berle.. J). Tiba-tibaa....
“oalaaa kak, betul yang dibilang Jeje itu.. lihatlah itu..” sambil menunjuk pengemis yang mendatangi kami tadi.
Ternyata ehh ternyata, dia bisa jalan.
“sialan, ketipu kita..” jawabku
“makanya kak, jangan terlalu percaya ma yang kek gituan. Mending aku ngasih ma pemngamen daripada pengemis karna pengamen itu kasih nilai plus. Ibarat kata kita barteran, kita terhibur dia dapet hasilnya. Nahh, kalau pengemis gak ada” tutur Jeje.
Gawat Indonesia ini bah ....!!!!


In Memory of Love Garden




Dipinggiran sungai, terlihat sesosok gadis belia sedang mengobok-obok air sungai yang menguning. Uli namanya, nama yang aneh namun memiliki makna yang tersendiri. Setiap orang yang melihat pertama akan berfikir kalau dia bukanlah gadis desa. 0rang-orang akan berfikir kalau dia  gadis kota yang singgah ke desa untuk sementara waktu. Tubuhnya yang indah dengan tinggi yang semampai itu diselimuti kain katun dan jeans hitam. Kulitnya yang putih, tangannya yang lembut, rambutnya tergerai hampir sepinggangnya, bibir yang indah,hidung yang tajam serta mata yang jentik semakin mempercantik dirinya.
Uli adalah bunga desa di daerahnya. Namun, Uli tak ada bedanya dengan gadis-gadis desa lainnya. Yakni, sama-sama mengecam pendidikan di sekolah yang sama dan bekerja keladang seusai sekolah. Hanya saja mungkin Tuhan memberikan nilai lebih dari teman-teman lainnya. Tangan sebelah kanannya menyentuh air sambil termenung memandangi air yang keruh.
Uli gadis belia berusia 19 tahun, diusianya yang masih muda dan subur ini seharusnya ceria. Namun, akhir-akhir ini dia selalu berdiam diri dan tak ingin ada yang mengusiknya. Wajahnya mendung seperti langit yang ingin meneteskan tetesan air hujan. Tiba-tiba dia terjatuh dan tak sadarkan diri ke dalam sungai. Orang-orang disekitar tersebut langsung berhamburan ke pinggir sungai menolongnya.
Di dalam alam sadarnya, dia bertemu dengan Dika dan sesosok wanita yang wajahnya tak dapat dilihatnya dengan jelas. Dika adalah pria yang dapat meluluhkan hatinya. Namun, siapa yang disisinya itu? Mungkinkah itu?. Tiba-tiba ada yang menarik lengannya dan…
“Li, bangun dong, ampe kapan sih kau terus kek gini?” Uli terbangun dari khayalan suara itu sangat Uli kenal jelas dan dengan tanpa melihat gadis yang sebaya dengannya itu duduk disebelah tempat tidur.
“arrghhh, kau sar, sewot kali jadi orang…” ujarnya sambil membuka matanya.
“jangan pake kalilah, banjir pulak nanti mukakku. Cukuplah mukakmuh tadi yang banjir kena air sungai, hahahahaha”
 Sara namanya, Emang teman yang satu ini selalu buat onar dirumah Uli, teman yang tak pernah berhenti berkomat kamit sekaligus teman yang selalu ada buatnya saat suka maupun duka. Mereka berteman dari mulai Uli mengenal apa itu sekolah hingga sekarang Uli menduduki bangku kuliah.  Cantik, periang, serta keibuan membuat pria manapun takluk ditangannya.
“uli , udahlah sedihnya, masih disininya aku. Ngapain sich kau masih mikirin sie brengsek ntu? Yang jelas-jelas dia gak peduli ma kau. So, Gak ada gunanya dong Cuma bikin kau sakit melulu…”
Mendengar pernyataan Sara, Uli langsung teringat kisah dua tahun yang silam…

Crrrriiiiiiiiiiiiing…
Crrrrrrriiiiiiiinnnngg….
Pagi yang indah disambut dengan senyuman, ditemani sepeda mini pemberian kakek Uli mengelilingi  kampung tempat  keluarganya tinggal. Lokasinya memang tidak mewah namun cukup membuat merasakan ada dipegunungan. Menyatu dengan alam dan menabur benih persahabatan dengan semua tanaman. Taman Cinta,penuh dengah beribu jenis bunga serta ratusan kupu-kupu yang menari kesana kesini. Hari-harinya indah bersama kupu-kupu ditaman “,ahhh seandainya aku punya sayap, aku bakalan terbang bersama mereka mengelilingi taman ini dan bercanda tawa tanpa ada yang menghampiri” gumam Uli.
Uli berangan-angan sembari berputar-putar di tengan taman, tiba-tiba kakinya tersandung oleh sesuatu dan arrggghhh…
“Siall…., tangan dan kakiku terluka.” Sambil memegangi kedua kakinya.
“Perlu bantuan?” sambil menyodorkan tangannya, tanpa basa basi dia menerimanya.
Inilah kesan pertama yang membuat Uli tak bisa melupakannya . namanya adalah Andika , panggil saja  Dika. Itu sebutan yang dia terima sejak kecil, katanya sih..!! Dia merupakan sepupu dari Michael yang berasal dari Jakarta. Kedatangannya kedesa  tidak lain hanya ingin menghabiskan waktu liburannya selama 2 bulan sebelum melanjut keperguruan Tinggi.
Semenjak itu,mereka bersahabat dan sering jalan bersama, dimana ada Uli disitu ada Dika. Hingga seluruh warga di kampung kakeknya sudah menganggap mereka pacaran. Meskipun kenyataannya mereka hanya sebatas sahabat. Awalnya sih Uli biasa ja bersamanya. Namun, semakin hari Uli semakin merasa ada kejanggalan dalam dirinya. Ntah kenapa Uli semakin hilang kendali jika bersamanya. Uli merasa bisa leluasa kalau berada disisi Dika, dia merasa terlindungi. Perhatinnya,kasih sayangnya, membuat Uli betah disampingnya. Benih-benih ini pun mulai tumbuh dihatinya, Uli menimbunnya namun tetap saja berakar mulus. Dan Uli juga merasakan, perhatiannya pun mulai beda kepadanya.
Uli makin tak dapat membatasi diri hingga akhirnya dia berencana mengungkapkan yang sejujurnya tentang  perasaannya. “Duh, malunya jadi cewek….! Harus ngutarakan duluan, but whateverlah… yang penting aku senang.. dari pada dipendam.pikirnya.
Dia pun mulai melangkahkan kaki kehadapan Dika, dan mencoba mengajak berbicara.
“hei, Dika… sedang apa?”
“hei, sedang memikirkan seseorang”
“oohh ya?, siapa tuch?, ciiee ciiieeee, lagi falling in love ea?” mencoba menghibur diri sambil tertawa, kenyataannya  harus menelan ludah. (arrrgghhh, pupus sudah semua harapanku, ternyata sudah ada yang mengisi hati Dika. Tapi siapa ya yang beruntung itu?)
“siapa sich Ka?, boleh dong aku tahu siapa?” sambil menaring-narik lengannya.
“iiihhhh, mengkek amat  siech… gak boleh dibocorin, ntar kau kasih tau pula ma yang laen,..”
“kok gak bisa, seberapa penting sie dia dihidupmu? Sampai-sampai aku gak boleh tau?”
“sangat penting Uli, nanti kalau sudah waktunya kamu pasti akan tahu. Jadi, bukan sekarang” Dika pun pergi berlalu seiring dengan perginya angin.
Uli bagai disambar petir. Hancur sudah semua harapannya, pupus sudah semua angan-angannya. Sahabat tetap sahabat takkan bisa menjadi kekasih hidup. Tak sanggup Uli menahannya, bulir-bulir air mata pun mulai membasahi pipinya.

Dua bulan berlalu,liburan Dika pun berakhir. Esok harinya dia harus kembali ke Jakarta dan melanjutkan sekolahnya. Ntah kenapa Uli tak bisa menerimanya. Disatu sisi dia ingin Dika didesa, disisi lain dia juga harus memikirkan keluarganya Dika. Toch dia bukannya mau menetap disini. Akhirnya, Uli pun memutuskan untuk dapat menerimanya denggan lapang dada meskipun harus menyakitkan.
Sore itu, tiba-tiba Dika datang kerumah dan meminta Uli menemaninya jalan.
“ayolah Li, kau gak mau nemenin aku jalan-jalan di akhir liburan ku disini? Tutur dia dengan penuh senyuman yang mempunyai seribu makna.
Uli pun menerimanya meskipun pertamanya sok jual mahal, tapi kenyataannya emang pengen. Hehehehe.
mereka pun pergi dengan menaiki sepeda motor milik paman Sam, paman yang satu-satunya keluarga Dika yang tinggal didesa. Mereka tiba ditempat tujuan yang tak lain merupakan tempat pertama kali mereka dipertemukan. Yapp, Taman Cinta. Uli bingung kenapa harus kesini? Mau apa?. Tanda Tanya mulai menyelimuti kepalanya. Dika turun dari sepeda motor dan mematikan mesinnya. Uli pun mengikutinya turun.
“kita mau ngapain disni Ka?” Tanya Uli dengan serius tanpa basa-basi
Dika yang melihat Uli, tidak begitu peduli. Dia langsung duduk diatas rerumputan dan menatapi langi yang dibubuhi bintang-bintang. Uli duduk disampingnya. Hampir setengah jam mereka hanya membisu, dia semakin penasaran, namun kedua bilalnya terasa berat untuk berbicara.
“Uli…,”
Uli menoleh kearah Dika yang memanggilnya secara lembut,
“besok aku balik…, aku pengen ngomong yang sejujurnya sama mu kalau aku….”
dia terdiam, dan tak ingin melanjutkan perkataanya lagi.
“napa Ka, ngomong aja, gak pigi pun aku dari sini”
 dengan menarik nafas yang panjang, Dika pun mulai melanjutkan perkataanya.
“aku suka ma mu Li, Sumpah… aku belum pernah ngerasaiin yang seperti ini. jujur, baru kali ini aku merasa ketakutan jauh dari seseorang. Dan aku belum bisa menerimanya.” Dengan wajah tertunduk dia memegang tangan Uli erat.
(Ya Tuhan, inikah jawaban dari semua pertanyaanku?)
Dengan nada lesu dan tersenyum, “sejujurnya aku juga merasakan demikian  entah kenapa hatiku terasa sakit melepaskan kepergianmuh esok. Tak sanggup ku mengutarakannya kepadamu selama ini Dika.”
“Uli, kamu mau kan menungguku?”
“menunggu?”
“ea, menungguku datang kembali menjemput  mu. kau mau kan?”
“sampai kapan”
“sampai kau tamat SMA, aku akan datang menjemputmu dan kita sama-sama kuliah di Jakarta”
Uli munundukkan kepala dan mengiyakannya. Dika pun tersenyum  Sambil memberi satu kecupan manis dikeningnya. Darahnya menjadi beku, sekujur tubuhnya terasa seperti diterpa badai yang membuat dia merinding. Uli kedinginan. Dika pun mengetahuinya, seketika dia memelukku erat dan tak ingin melepasnya.
Malam yang paling terindah buat seorang gadis desa yang merasakan cinta pertama.

…………..

Setelah Dika kembali, kami hanya dapat berkomunikasi melalui telepon seluler. Terkadang dia yang pertama menghubungi, terkadang juga Uli yang mengingatkannya kalau di pulau seberang ada yang menantinya. Namun belakangan, Dika mulai sibuk dan tak bisa diganggu bahkan setiappesan yang Uli kirimkan tak pernah dibalas. Tapi Uli tetap dengan pendiriannya, dia akan menunggunya.
Hari yang dinantikan pun tiba, Uli melepaskan baju seragam SMA dan akan melanjutkan studinya. Dika menelepon dan mengucapkan selamat serta meminta maaf karena tak bisa menjemputnya. “aku masih sibuk Uli, maaf ea” teleponpun dimatikan. Huuffft, mungkinkah dia sudah lupa? Uli mulai pasrah, tiba-tiba terpikirkan olehnya sesuatu rencana. (Sebaiknya aku saja yang menemuinya di sana. Pasti dia senang, dan kami bisa kuliah bersama. )
Uli pergi kerumah pamannya dan meminta alamat Dika di Jakarta.
            Esoknya Uli berangkat ke Jakarta dengan harapan besar bisa bersama dengan Dika. Sesuai dengan            alamat yang diberikan paman Sam, Uli menelusuri kota Jakarta. Dengan kemahirannya dalam bertutur kata, Uli dapat menjelajahi Jakarta tanpa sentuhan penjahat manapun. Dia melangkah setapak demi setapak menyusuri lorong-lorong perumahan. Akhirnya dia menemukan rumah Dika, dia pun mulai melangkahkan kaki ke gerbang rumah Dika.
Namun, belum sempat dia mengetuk tiba-tiba dari dalam rumah keluar sepasang kekasih yang cukup menarik perhatian Uli. Mereka saling mengadu cumbu bermesraan di depan pintu. Wanita yang tinggi, cantik dan sangat modis dan disebelahnya ….?
Ya Tuhan, mengapa begitu bodohnya aku?
Tanpa pikir panjang Uli melangkahkan kaki mendekati mereka. Tangan kanan Uli menarik tangan kiri Dika dan Tangan kanannya dilayangkan Uli ke pipi Dika.
“kau adalah laki-laki terhina yang aku pernah kenal….,!!!”
Dika hanya terdiam membisu tanpa kata, Uli pun berlari meninggalkan tempat kediaman Dika. Kejadian itu membukakan mata Uli bahwa Dika bukanlah Pria baik-baik yang setia pada pendiriannya.






*******
Sejak saat itu, hidup Uli semakin tak terkendali. Akhirnya dia melanjutkan Kuliahnya di daerahnya dengan harapan dapat bertahan hidup meskipun hanya separuh jiwa.
“udahlah Li, kau udah kuliah di Medan dengan jurusan yang di akui. Lulus dari situ, langsung kerja. Udah cantik pinter lagi. Tapi kok gagal dalam percintaan ea?” ini menghibur apa mengejek sih?
“akkkhhh,percaya sama kau sar bisa-bisa pindah agama…” tutur Uli dengan nada kesal
“uuhhh, gak ampe segitunya kaleee…”
“Aku sudah bertekad sar, buat ngelupain dia tapi kenangan itu masih saja menghantuiku. Sar, kau masih mau kan mengingatkan aku agar aku tidak kesandung kenangan itu lagi. Yah, sebagai teman satu-satunya yang selalu ada didekatku, aku sangat butuh perhatianmu.”
“Uli, kita berteman dari mulai kita kecil. Dan aku tahu kau seperti apa, sebagai teman yang peduli tarhadap temannya, apapun akan aku lakukan buat mu selagi aku bisa. Aku gak akan berdiam diri melihatmu begini terus Uli.”
“trimakasih sobat”